“Hasrat untuk meraih kemajuan bangsa Indonesia muncul ketika banyak pemuda telah mengecap bangku sekolah, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu, munculnya surat kabar telah memupuk kesadaran berbangsa dari seluruh lapisan masyarakat bumiputra. Kesadaran ini makin tampak dengan banyaknya organisasi kaum muda, yang mengarahkan tujuannya untuk membentuk suatu bangsa dan negara yang merdeka” Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), Indonesia Dalam Arus Sejarah VI (2012).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kaum muda terpelajar mempunyai peranan yang cukup penting bagi kesadaran untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan berbangsa. Dalam catatan sejarah dapat diingat bagaimana peran para pemuda dan kaum terpelajar. Hal ini tampak jelas terutama setelah dilaksanakan Politik Etis di Indonesia. Dibukanya program edukasi telah membuka jalan lahirnya kaum muda terpelajar yang kemudian menggerakkan kesadaran kebangsaan sehingga melahirkan gerakan kebangkitan nasional di Indonesia. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda yang telah meneguhkan tiga pilar jati diri keindonesiaan: tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Setelah berhasil menggelorakan Sumpah Pemuda, hampir setiap momen perubahan dan pembaharuan di Indonesia tidak pernah lepas dari peran pemuda. Sebut saja peristiwa Proklamasi Indonesia, penumpasan G30S/PKI dan lahirnya Orde Baru serta gerakan reformasi tahun 1998, kaum muda tampil sebagai penggerak dan pelopor. Peranan mereka dapat menentukan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Latar Belakang Sumpah Pemuda_ Adanya pendidikan/sekolah-sekolah akan memunculkan kaum terpelajar. Kaum muda terpelajar inilah kemudian memelopori lahirnya kebangkitan nasional di Indonesia. Hal ini juga dipacu oleh adanya surat kabar-surat kabar yang sudah terbit saat itu sehingga mempercepat berkembangnya semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, berkembanglah masa pergerakan kebangsaan, suatu periode yang sangat penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Dalam periode pergerakan kebangsaan ini telah terjadi peristiwa yang sangat penting dan monumental, yakni peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai klimaks dari sebuah perjuangan untuk mempersatukan seluruh bangsa menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dan pada uraian ini kita akan belajar tentang makna nilai-nilai Sumpah Pemuda bagi kehidupan berbangsa, terutama dalam rangka memperkokoh jati diri keindonesiaan.
1. Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Modern
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.
Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masing-masing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba. Orang-orang Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan pada persatuan dan kesatuan.
Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. Ia membuat tulisan yang berjudul “Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang budi itu dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan.
Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu hanya saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi sarana untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputra.
Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka menggerakkan wacana perubahan di lembaga tersebut.
2. Pers Membawa Kemajuan
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi.
Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangannya kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., di Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar-komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kebudayaan cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja sama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan tentang perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat tentang berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan-tulisannya pada surat kabar Bintang Hindia, ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat tentang tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. Sementara itu, anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin. Surat kabar tersebut memuat dua hal penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dan lain-lain. Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ideide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan Komite Bumiputra adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.
Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi Seorang Belanda”). Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk perayaan kemerdekaan negara yang menjajah. Pemerintah Kolonial Belanda menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Abdul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto pada awalnya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers adalah Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.
3. Bangkitnya Nasionalisme
Keberadaan kaum muda terpelajar sangat cocok dan responsif terhadap berkembangnya paham-paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan kemerdekaan. Pada saat itu di Eropa sedang tumbuh subur paham-paham yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai dampak dari Revolusi Perancis. Paham-paham itu misalnya liberalisme, nasionalisme, sosialisme.
Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia. Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya kaum muda terpelajar. Pemikiran mereka semakin rasional, wawasannya semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya pahampaham baru di Indonesia. Paham baru itu misalnya nasionalisme. Paham ini telah mendorong lahirnya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam suatu bangsa, Bangsa Indonesia. Kesadaran ini kemudian mendorong untuk merubah dan menyempurnakan strategi perjuangan bangsa yang selama ini telah dilakukan.
Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka munculnya kaum terpelajar, peran pers/media cetak, dan paham-paham baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh beberapa peristiwa dunia. Misalnya adanya Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, Gerakan Nasional di India dan Filipina.
Sekalipun didorong oleh banyak faktor, kesadaran berbangsa dan kebangkitan nasional yang muncul di Indonesia tidak lepas dari bentuk antitesis terhadap penjajahan dan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Kesadaran bersama muncul bahwa untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, bentuk dan strateginya harus sudah berubah. Bentuk diplomasi dan melalui berbagai organisasi pergerakan dipandang lebih tepat. Dipelopori oleh kaum terpelajar kemudian lahirlah berbagai organisasi pergerakan nasional. Organisasi pergerakan itu ada yang bercorak sosio-kultural, politik, keagamaan tetapi juga yang sekuler, kedaerahan tetapi ada juga yang nasionalis, ada dari kelompok pemuda tetapi juga ada kelompok perempuan. Dalam strategi ada yang kooperatif dan ada juga non-kooperatif.
Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi Utomo (BU) yang bersifat sosio-kultural. Organisasi ini didirikan antara lain oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 20 Mei 1908. Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu kaum bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan.
Organisasi yang berikutnya adalah Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H. Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP). Pendiri organisasi itu dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Setelah itu IP berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia.
Dari bidang keagamaan misalnya ada Muhammadiyah yang bersifat modern, yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Tujuannya antara lain memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Al-Hadis. Tindakannya adalah amar makruf nahi munkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. Organisasi ini tetap mempertahankan tradisi yang sudah lama berkembang di kalangan ulama. Tujuan organisasi ini terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kedua oraganisasi Islam ini sekarang merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di Indonesia.
Dari kalangan kaum Kristiani juga membentuk organisasi antara lain didirikannya Perkumpulan Politik Katolik Jawi (PPKJ). Organisasi ini didirikan I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925. Organisasi ini juga bergerak di bidang sosial pendidikan. Tujuannya turut berusaha sekuat tenaga bagi kemajuan Indonesia.
Organisasi lain yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan yang bersifat nasional misalnya Taman Siswa. Organisasi ini didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal nama Ki Hajar Dewantoro. Tujuannya lebih diarahkan pada upaya memajukan pendidikan bagi bumiputera. Pendidikan yang ditawarkan adalah sistem pendidikan nasional yang berdasarkan kepada kebudayaan asli Indonesia. Asas perjuangan Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Dalam waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat. Ki Hajar Dewantoro diakui sebagai bapak pendidikan di Indonesia. Ia telah meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Organisasi pergerakan lainnya yang bersifat nasionalis, misalnya Perhimpunan Indonesia (PI). Pada mulanya organisasi ini bernama Indische Vereniging didirikan pada tahun 1908 oleh para pelajar/mahasiswa yang belajar di negeri Belanda seperti R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Djajadiningrat. Kemudian dengan datangnya para aktivis perjuangan dari Indonesia seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, J.B. Sitanala, organisasi ini semakin bernuansa politik kebangsaan. Bahkan nama Indische Vereeniging diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan diubah lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1925. Organisasi ini cukup revolusioner dalam memperjuangkan kebebasan Indonesia dari penjajahan Belanda. Majalahnya sebagai corong perjuangan yang semula bernama “Hindia Putera” diubah menjadi “Indonesia Merdeka” Asas perjuangannya antara lain: menolong dirinya sendiri (swadaya), non-kooperasi, persatuan nasional.
PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan secepatnya.
Terilhami dengan perkembangan dan perjuangan PI di Belanda, beberapa tokoh pemuda seperti Soekarno, Gatot Mangkuprojo dan lain-lain pada 4 Juli 1927 berkumpul untuk mendiskusikan pembentukan organisasi semacam PI. Setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan akhirnya, dalam pertemuan di Bandung, di kediaman Ir. Sukarno, tanggal 4 Juli 1927, diresmikanlah berdirinya partai baru yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Sebagai ketua dipercayakan kepada Ir. Sukarno. Pada Kongres I di Surabaya, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia. Asas perjuangannya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), nonkooperasi dan marhenisme (orientasi kerakyatan).
Organisasi yang bersifat revolusioner yang lain sebelum PNI sebenanrnya sudah ada, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari organisasi Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet. Tokoh-tokohnya antara lain Semaun, Darsono. Dengan memperhatikan perkembangan politik, setelah melalui serangkaian pembahasan, maka pada saat kongres yang ke-7 nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis Hindia. Kemudian pada bulan Desember 1920 diubah dengan wajah keindonesiaan yakni menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai ketua PKI yang pertama adalah Semaun. Pada tahun 1921 diterapkan disiplin partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus memilih salah satu. PKI berkembang menjadi partai radikal dan sekuler. PKI juga menjadi partai rakyat yang cepat berkembang.
Masa pergerakan kebangsaan ini juga berkembang organisasi pemuda dan tidak ketinggalan organisasi para perempuan. Organisasi pemuda yang pertama berdiri di Indonesia adalah Trikoro Darmo. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 7 Mei 1915. Organisasi ini diharapkan menjadi wadah pembinaan generasi muda di Indonesia. Tokohnya antara lain: Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman. Nama Trikoro Darmo ini bermakna memiliki tiga tujuan utama yakni: sakti, budi dan bakti. Tujuan dan arah gerakan Trikoro Darmo untuk menciptakan wadah pelatihan dan pembinaan generasi muda/pelajar untuk menjadi pemuka/pemimpin nasional yang cinta tanah air. Anggota Trikoro Darmo umumnya terdiri atas para pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di lingkungan pemuda ini juga berkembang gerakan kepanduan yang umumnya dimiliki oleh organisasi induknya. Misalnya Muhammadiyah mempunyai organisasi kepanduan Hizbul Wathan (HW). Sementara itu itu di lingkungan kaum wanita juga berkembang organisasi wanita. Organisasi yang pertama adalah Puteri Mardika. Organisasi ini dibentuk pada tahun 1912 atas prakarsa BU.
Melihat beberapa organisasi yang berkembang di masa pergerakan kebangsaan, jelas orientasinya adalah untuk kemajuan bangsa. Bahkan ada beberapa organisasi yang secara terang-terangan bertujuan untuk pembebasan Indonesia dari penjajahan. Namun organisasi-organisasi itu masih berkembang sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, untuk memperkuat perjuangan berbagai organisasi menuju cita-cita mulia yakni pembebasan rakyat dari belenggu penjajahan atau kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu persatuan dan kesatuan. Hal inilah yang mendorong para pemuda berjuang untuk dapat mempersatukan berbagai organisasi dan partai yang ada di Indonesia.
KESIMPULAN
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kaum muda terpelajar mempunyai peranan yang cukup penting bagi kesadaran untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan berbangsa. Dalam catatan sejarah dapat diingat bagaimana peran para pemuda dan kaum terpelajar. Hal ini tampak jelas terutama setelah dilaksanakan Politik Etis di Indonesia. Dibukanya program edukasi telah membuka jalan lahirnya kaum muda terpelajar yang kemudian menggerakkan kesadaran kebangsaan sehingga melahirkan gerakan kebangkitan nasional di Indonesia. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda yang telah meneguhkan tiga pilar jati diri keindonesiaan: tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Setelah berhasil menggelorakan Sumpah Pemuda, hampir setiap momen perubahan dan pembaharuan di Indonesia tidak pernah lepas dari peran pemuda. Sebut saja peristiwa Proklamasi Indonesia, penumpasan G30S/PKI dan lahirnya Orde Baru serta gerakan reformasi tahun 1998, kaum muda tampil sebagai penggerak dan pelopor. Peranan mereka dapat menentukan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Latar Belakang Sumpah Pemuda_ Adanya pendidikan/sekolah-sekolah akan memunculkan kaum terpelajar. Kaum muda terpelajar inilah kemudian memelopori lahirnya kebangkitan nasional di Indonesia. Hal ini juga dipacu oleh adanya surat kabar-surat kabar yang sudah terbit saat itu sehingga mempercepat berkembangnya semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, berkembanglah masa pergerakan kebangsaan, suatu periode yang sangat penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Dalam periode pergerakan kebangsaan ini telah terjadi peristiwa yang sangat penting dan monumental, yakni peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai klimaks dari sebuah perjuangan untuk mempersatukan seluruh bangsa menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dan pada uraian ini kita akan belajar tentang makna nilai-nilai Sumpah Pemuda bagi kehidupan berbangsa, terutama dalam rangka memperkokoh jati diri keindonesiaan.
1. Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Modern
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.
Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masing-masing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba. Orang-orang Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan pada persatuan dan kesatuan.
Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. Ia membuat tulisan yang berjudul “Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang budi itu dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan.
Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu hanya saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi sarana untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputra.
Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka menggerakkan wacana perubahan di lembaga tersebut.
2. Pers Membawa Kemajuan
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi.
Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangannya kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., di Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar-komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kebudayaan cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja sama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan tentang perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat tentang berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan-tulisannya pada surat kabar Bintang Hindia, ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat tentang tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. Sementara itu, anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin. Surat kabar tersebut memuat dua hal penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dan lain-lain. Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ideide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan Komite Bumiputra adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.
Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi Seorang Belanda”). Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk perayaan kemerdekaan negara yang menjajah. Pemerintah Kolonial Belanda menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Abdul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto pada awalnya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers adalah Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.
3. Bangkitnya Nasionalisme
Keberadaan kaum muda terpelajar sangat cocok dan responsif terhadap berkembangnya paham-paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan kemerdekaan. Pada saat itu di Eropa sedang tumbuh subur paham-paham yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai dampak dari Revolusi Perancis. Paham-paham itu misalnya liberalisme, nasionalisme, sosialisme.
Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia. Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya kaum muda terpelajar. Pemikiran mereka semakin rasional, wawasannya semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya pahampaham baru di Indonesia. Paham baru itu misalnya nasionalisme. Paham ini telah mendorong lahirnya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam suatu bangsa, Bangsa Indonesia. Kesadaran ini kemudian mendorong untuk merubah dan menyempurnakan strategi perjuangan bangsa yang selama ini telah dilakukan.
Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka munculnya kaum terpelajar, peran pers/media cetak, dan paham-paham baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh beberapa peristiwa dunia. Misalnya adanya Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, Gerakan Nasional di India dan Filipina.
Sekalipun didorong oleh banyak faktor, kesadaran berbangsa dan kebangkitan nasional yang muncul di Indonesia tidak lepas dari bentuk antitesis terhadap penjajahan dan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Kesadaran bersama muncul bahwa untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, bentuk dan strateginya harus sudah berubah. Bentuk diplomasi dan melalui berbagai organisasi pergerakan dipandang lebih tepat. Dipelopori oleh kaum terpelajar kemudian lahirlah berbagai organisasi pergerakan nasional. Organisasi pergerakan itu ada yang bercorak sosio-kultural, politik, keagamaan tetapi juga yang sekuler, kedaerahan tetapi ada juga yang nasionalis, ada dari kelompok pemuda tetapi juga ada kelompok perempuan. Dalam strategi ada yang kooperatif dan ada juga non-kooperatif.
Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi Utomo (BU) yang bersifat sosio-kultural. Organisasi ini didirikan antara lain oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 20 Mei 1908. Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu kaum bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan.
Organisasi yang berikutnya adalah Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H. Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP). Pendiri organisasi itu dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Setelah itu IP berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia.
Dari bidang keagamaan misalnya ada Muhammadiyah yang bersifat modern, yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Tujuannya antara lain memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Al-Hadis. Tindakannya adalah amar makruf nahi munkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. Organisasi ini tetap mempertahankan tradisi yang sudah lama berkembang di kalangan ulama. Tujuan organisasi ini terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kedua oraganisasi Islam ini sekarang merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di Indonesia.
Dari kalangan kaum Kristiani juga membentuk organisasi antara lain didirikannya Perkumpulan Politik Katolik Jawi (PPKJ). Organisasi ini didirikan I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925. Organisasi ini juga bergerak di bidang sosial pendidikan. Tujuannya turut berusaha sekuat tenaga bagi kemajuan Indonesia.
Organisasi lain yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan yang bersifat nasional misalnya Taman Siswa. Organisasi ini didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal nama Ki Hajar Dewantoro. Tujuannya lebih diarahkan pada upaya memajukan pendidikan bagi bumiputera. Pendidikan yang ditawarkan adalah sistem pendidikan nasional yang berdasarkan kepada kebudayaan asli Indonesia. Asas perjuangan Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Dalam waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat. Ki Hajar Dewantoro diakui sebagai bapak pendidikan di Indonesia. Ia telah meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Organisasi pergerakan lainnya yang bersifat nasionalis, misalnya Perhimpunan Indonesia (PI). Pada mulanya organisasi ini bernama Indische Vereniging didirikan pada tahun 1908 oleh para pelajar/mahasiswa yang belajar di negeri Belanda seperti R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Djajadiningrat. Kemudian dengan datangnya para aktivis perjuangan dari Indonesia seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, J.B. Sitanala, organisasi ini semakin bernuansa politik kebangsaan. Bahkan nama Indische Vereeniging diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan diubah lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1925. Organisasi ini cukup revolusioner dalam memperjuangkan kebebasan Indonesia dari penjajahan Belanda. Majalahnya sebagai corong perjuangan yang semula bernama “Hindia Putera” diubah menjadi “Indonesia Merdeka” Asas perjuangannya antara lain: menolong dirinya sendiri (swadaya), non-kooperasi, persatuan nasional.
POJOK INFO
Sekilas Nama Indonesia
Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians (sarjana Jerman) yang diambil dari Logan (sarjana Inggris). Namun yang dimaksud Bastians dengan konsep Indonesia, adalah Indonesia secara etnografi, bukan konsep Indnesia seperti saat ini. selanjutnya dalam rapat-rapat menjelang kemerdekaan pandangan etnografi dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan tentang nasion yang saat itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan wilayahnya.
Para pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda kemudian menggunakan Indonesia sebagai identitas dirinya, tanah airnya, dan nasionnya, serta posisi politiknya. Karena itulah Organisasi Indische Vereeniging berganti nama ke Perhimpoenan Indonesia. Hatta dalam memoarnya menuturkan,” ....Langkah pertama untuk memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama “INDONESIA” tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. orang-orang Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut “Hindia Belanda”, kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka menyebut “INDONESIA”. Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam pimpinan agenda Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar kembali dengan “Indes Neerlandises”.”
PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan secepatnya.
Terilhami dengan perkembangan dan perjuangan PI di Belanda, beberapa tokoh pemuda seperti Soekarno, Gatot Mangkuprojo dan lain-lain pada 4 Juli 1927 berkumpul untuk mendiskusikan pembentukan organisasi semacam PI. Setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan akhirnya, dalam pertemuan di Bandung, di kediaman Ir. Sukarno, tanggal 4 Juli 1927, diresmikanlah berdirinya partai baru yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Sebagai ketua dipercayakan kepada Ir. Sukarno. Pada Kongres I di Surabaya, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia. Asas perjuangannya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), nonkooperasi dan marhenisme (orientasi kerakyatan).
Organisasi yang bersifat revolusioner yang lain sebelum PNI sebenanrnya sudah ada, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari organisasi Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet. Tokoh-tokohnya antara lain Semaun, Darsono. Dengan memperhatikan perkembangan politik, setelah melalui serangkaian pembahasan, maka pada saat kongres yang ke-7 nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis Hindia. Kemudian pada bulan Desember 1920 diubah dengan wajah keindonesiaan yakni menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai ketua PKI yang pertama adalah Semaun. Pada tahun 1921 diterapkan disiplin partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus memilih salah satu. PKI berkembang menjadi partai radikal dan sekuler. PKI juga menjadi partai rakyat yang cepat berkembang.
Masa pergerakan kebangsaan ini juga berkembang organisasi pemuda dan tidak ketinggalan organisasi para perempuan. Organisasi pemuda yang pertama berdiri di Indonesia adalah Trikoro Darmo. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 7 Mei 1915. Organisasi ini diharapkan menjadi wadah pembinaan generasi muda di Indonesia. Tokohnya antara lain: Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman. Nama Trikoro Darmo ini bermakna memiliki tiga tujuan utama yakni: sakti, budi dan bakti. Tujuan dan arah gerakan Trikoro Darmo untuk menciptakan wadah pelatihan dan pembinaan generasi muda/pelajar untuk menjadi pemuka/pemimpin nasional yang cinta tanah air. Anggota Trikoro Darmo umumnya terdiri atas para pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di lingkungan pemuda ini juga berkembang gerakan kepanduan yang umumnya dimiliki oleh organisasi induknya. Misalnya Muhammadiyah mempunyai organisasi kepanduan Hizbul Wathan (HW). Sementara itu itu di lingkungan kaum wanita juga berkembang organisasi wanita. Organisasi yang pertama adalah Puteri Mardika. Organisasi ini dibentuk pada tahun 1912 atas prakarsa BU.
Melihat beberapa organisasi yang berkembang di masa pergerakan kebangsaan, jelas orientasinya adalah untuk kemajuan bangsa. Bahkan ada beberapa organisasi yang secara terang-terangan bertujuan untuk pembebasan Indonesia dari penjajahan. Namun organisasi-organisasi itu masih berkembang sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, untuk memperkuat perjuangan berbagai organisasi menuju cita-cita mulia yakni pembebasan rakyat dari belenggu penjajahan atau kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu persatuan dan kesatuan. Hal inilah yang mendorong para pemuda berjuang untuk dapat mempersatukan berbagai organisasi dan partai yang ada di Indonesia.
KESIMPULAN
- Berbagai kebijakan kolonial yang melahirkan kemiskinan dan penderitaan rakyat telah mendapat kritik keras dari politikus dan intelektual Belanda C.H. Van Deventer. Kritik itu mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Kemudian dibuatlah kebijakan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dikenal dengan Politik Etis. Politik etis ini meliputi bidang pendidikan, irigasi/pertanian, dan emigrasi/transmigrasi.
- Bidang pendidikan membuka wawasan bagi kaum muda terpelajar. Mereka adalah golongan baru yang membawa ide-ide pada kesadaran kebangsaan. Sarana komunikasi dan transportasi adalah hal penting yang menghubungkan para kaum terpelajar untuk membentuk suatu ideologi kebangsaan.
- Berkembangnya pers atau media cetak telah menggerakkan ide-ide kemajuan, sehingga lebih memacu berkembangnya ideologi dan pergerakan kebangsaan.
- Pada Berkembanglah fase kebangkitan nasional. Mulai berkembang berbagai organisasi pergerakan yang mengusung ideologi kemajuan dan kebangsaan bahkan juga politik untuk pembebasan rakyat dari penjajahan.
- Berbagai organisasi yang berkembang di era kebangkitan nasional baik yang bercorak keagamaan atau yang sekuler, bercorak kedaerahan ataupun yang bersifat nasional, yang kooperatif ataupun yang non-kooperatif, yang pemuda maupun yang wanita, tampaknya belum mampu menciptakan persatuan yang kokoh untuk sama-sama melawan penjajah. Mereka masih memikirkan bagaimana organisasinya berkembang. Hal ini menjadi pemikiran serius dari kalangan pemuda untuk mewujudkan gerakan persatuan dan kesatuan di antara berbagai organisasi.