Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dll.
Secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang sangat strategis dalam saluran perdagangan masa silam. Hal ini menyebabkan Islam dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia. Lantas, kapan Islam pertama kali datang ke Indonesia. Ada beberapa teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut antara lain teori Gujarat, teori Persia, dan teori Arab. Teori gujarat adalah teori masuknya Islam ke Indonesia yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel. Dalam teori ini disebutkan bahwa Islam di Indonesia sebetulnya berasal dari Gujarat, India dan mulai masuk sejak abad ke 8 Masehi. Islam masuk ke Indonesia melalui wilayah-wilayah di anak benua India, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Seperti diketahui bahwa Bangsa Indonesia pada masa itu memang telah menjalin hubungan dagang dengan India melalui saluran Indonesia-Cambay. Berdasarkan teori ini, masuknya Islam ke Indonesia ini diyakini berasal dari Gujarat karena didasarkan pada adanya bukti berupa batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik as-Saleh berangka tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Selain itu, teori gujarat juga didasarkan pada corak ajaran Islam yang cenderung memiliki warna tasawuf. Ajaran ini dipraktikan oleh orang muslim di India Selatan, mirip dengan ajaran Islam di Indonesia pada awal berkembangnya Islam.
Kedua adalah Teori persia. Teori persia adalah teori masuknya Islam ke Indonesia yang dikemukakan oleh Hoessein Djajadiningrat. Dalam teori ini dikemukakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang berasal dari Persia (Iran). Islam diyakini dibawa oleh para perdagang Persia mulai pada abad ke 12.
Ketiga adalah teori Arab atau Teori Mekah. Berdasarkan teori Arab, masuknya Islam ke Indonesia diyakini berasal dari Arab, yaitu Mekkah dan Madinah pada abad perama Hijriah atau abad ke 7 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada adanya bukti perkampungan Islam di Pantai Barus, Sumatera Barat, yang dikenal sebagai Bandar Khalifah. Wilayah ini disebut dengan wilayah Ta-Shih. Ta-Shih adalah sebutan orang-orang China untuk orang Arab. Bukti ini terdapat dalam dokumen dari Cina yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-Fei. Dia mengatakan adanya pelayaran dari wilayah Ta-Shih yang berjarak 5 hari perjalanan ke Jawa.
Masuknya agama islam ke nusantara (indonesia) pada abad 6 akhir dibawa oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau Fase Pertama, telah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada masyrakat,budaya dan pemerintahan. Perubahan dan Perkebangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak islam. antara lain sebagai berikut :
1. Kerajaan Samodera Pasai
a. Kehidupan Politik
Kerajaan Samodera Pasai dibangun Nazimudin Al Kamil, seorang laksamana laut dari Mesir. Raja pertama adalah Marah Silu dengan gelar Sultan Malik Al Saleh. Ia memerintah sejak tahun 1285 sampai dengan 1297 M. Pengganti Sultan Malik Al Saleh, yaitu Sultan Muhammad (Sultan Malik Al Thahir). Pada abad ke-14 (tahun 1345) Ibnu Battuta utusan dari Kesul-tanan Delhi yang akan pergi ke Cina dan singgah di Samodera Pasai, menyaksikan masyarakat dan kerajaan telah memeluk agama Islam. Raja terakhir Samodera Pasai ialah Zainal Abidin (1523-1524).
b. Kehidupan Sosial Ekonomi
Tumbuhnya Kerajaan Samodera Pasai, selain didukung letaknya yang strategis, juga adanya hasil pertanian yang menjadi komoditi ekspor, misalnya lada. Hal ini menjadikan Kerajaan Samodera Pasai maju dalam pelayaran dan perdagangan dan tumbuh menjadi kerajaan maritim. Samodera Pasai akhirnya berkembang menjadi pusat perdagangan dan agama Islam.
2. Kerajaan Aceh
a. Kehidupan Politik
Aceh berkembang setelah Malaka diduduki Portugis pada 1511. Mengingat sebagian besar para pedagang beragama Islam maka mereka pindah dari Malaka ke Aceh. Faktor lain adalah jatuhnya Samodera Pasai ke tangan Portugis (1521), sehingga menambah keramaian Aceh. Pada tahun 1530, Aceh melepaskan diri dari Pedir dan berdirilah Kerajaan Aceh dengan Sultan Ali Mughayat (1514-1528) sebagai raja pertama.
Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan bercita-cita menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar dan kuat. Untuk itu, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka harus ditaklukkan, yakni Pahang, Kedah, Perlak, Johor dan sebagainya. Pengganti Sultan Iskandar Muda ialah Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah itu Aceh terus mengalami kemunduran, karena tidak terdapat sultan yang kuat. Kerajaan Aceh tidak mampu bersaing dengan Belanda, yang mengusai Malaka pada tahun 1641.
b. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh adalah dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Pada masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hasil bumi dan alam menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh, sehingga perekonomian Aceh maju dengan pesat.
c. Kehidupan Sosial Budaya
Dalam masyarakat Aceh terdapat dua kelompok sosial yang saling berebut pengaruh yakni Golongan Teuku dan Golongan Tengku. Golongan Teuku adalah kaum bangsawan yang memegang kekuasaan sipil, sedangkan golongan Tengku adalah kaum ulama yang memegang peranan penting dalam bidang sosialkeagamaan. Sementara itu di dalam golongan agama terdapat dua aliran yang saling bersaing, yaitu Syiah dan Sunnah wal Jama'ah. Pada masa Sultan Iskandar Muda, aliran Syiah berkembang pesat. Tokoh aliran ini ialah Hamzah Fansuri, yang kemudian diteruskan oleh Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskansar Muda meninggal, aliran Sunnah wal Jama'ah yang berkembang pesat. Tokoh aliran ini adalah Nuruddin ar Raniri yang berhasil menulis sejarah Aceh dengan judul Bustanus Salatin, yang berisi adat istiadat Aceh dan ajaran agama Islam. Peninggalan budaya Islam yang cukup menonjol adalah bangunan Masjid Baitturachman yang dibangun pada masa pemerintahn Sultan Iskandar Muda.
3. Kerajaan Demak
Dengan mundurnya kerajaan Majapahit, memberikan kesempatan kepada para bupati yang berada di pesisir pantai utara Jawa untuk melepaskan diri, khususnya Demak. Faktor lain yang mendorong perkembangan Demak ialah letaknya yang strategis di jalur perdagangan Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur.
a. Kehidupan Politik
1) Raden Patah (1475-1518)
Dengan bantuan beberapa daerah yang telah memeluk Islam, misalnya Jepara, Tuban, dan Gresik, Raden Patah pada 1475 berhasil mendirikan Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) dengan putri Champa. Raden Patah semula diangkat menjadi Bupati oleh Kerajaan Majapahit di Bintoro Demak dengan gelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Dalam upaya mengembangkan kekuasaan dan menguasai perdagangan nasional dan internasional maka pada 1513 Demak melancarkan serangan ke Malaka di bawah pimpinan Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Namun serangan tersebut mengalami kegagalan. Dalam bidang politik, Demak menempatkan para wali di lingkungan kerajaan sebagai pendamping, dan sekaligus sebagai penasihat raja. Peran ini tampak pada diri Sunan Kalijaga yang saran-sarannya memberi corak seakan-akan Demak sebagai negara teokrasi atau negara atas dasar agama.
2) Sultan Trenggono (1521-1546)
Raden Patah digantikan putranya Adipati Unus (1518-1521). Ia dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor (sebab pernah mengadakan serangan ke utara atau Malaka), meninggal tanpa berputra, dan digantikan adiknya, yaitu Sekar Seda Lepen. Namun, pangeran ini dibunuh kemenakannya sendiri, sehingga yang menggantikan adiknya, yaitu Raden Trenggono, dengan gelar Sultan Trenggono.
Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan luas, mulai Jawa Barat (Banten, Jayakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dengan wafatnya Sultan Trenggono memberi peluang keturunan Sekar Seda Lepen untuk merebut takhta, karena merasa berhak atas takhta itu. Tokoh ini adalah Aria Penangsang yang menjadi Bupati di Jipang (Blora). Sementara itu dari pihak keluarga Sultan Trenggono menunjuk Pangeran Prawoto sebagai pengganti ayahandanya. Dengan demikian terjadi perebutan kekuasaan antara Sultan Trenggono dengan keturunan Sekar Seda Lepen. Perang saudara ini berlangsung lama, dan menantu Sultan Trenggono yang berasal dari Pajang, yaitu Joko Tingkir berhasil naik takhta sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya (1552-1575).
b. Kehidupan Ekonomi
Sebagai negara maritim, Demak menjalankan fungsinya sebagai penghubung atau transito antara daerah penghasil rempah-rempah di bagian timur dengan Malaka, dan dari Malaka kemudian dibawa para pedagang menuju kawasan Barat. Berkembangnya perekonomian Demak di samping faktor dunia kemaritiman, juga faktor perdagangan hasil-hasil pertanian.
c. Kehidupan Sosial-Budaya
Kehidupan sosial diatur oleh aturan-aturan atau hukum-hukum yang berlaku dalam ajaran Islam, namun juga masih menerima tradisi lama. Dengan demikian, muncul sistem kehidupan sosial yang telah mendapat pengaruh Islam. Di bidang budaya, terlihat jelas adanya peninggalan bangunan Masjid Demak yang terkenal dengan tiang utamanya terbuat dari tatal yang disebut Soko Tatal. Di pendapa (serambi depan masjid) itu Sunan Kalijaga (pemimpin pembangunan masjid) meletakkan dasar-dasar Syahadatain (Perayaan Sekaten). Tujuannya adalah untuk memperoleh banyak pengikut agama Islam, dan tradisi sekaten sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.
4. Kerajaan Banten
a. Kehidupan Politik
Banten dikuasai dan di-Islamkan oleh Fatahilah (panglima perang Demak). Selain itu, Fatahilah juga merebut Sunda Kelapa dan Cirebon. Setelah dikuasai, nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta (1527). Selanjutnya, Fatahilah menetap di Cirebon, dan Banten diserahkan kepada putranya, Hasanudin. Meskipun Banten, Jayakarta, dan Cirebon berhasil dikuasai, namun kawasan ini tetap menjadi daerah kekuasan Demak. Namun, ketika terjadi goncangan politik sebagai akibat perebutan kekuasaan di Demak, maka Banten melepaskan diri. Hasanudin sebagai peletak dasar selanjutnya menjadi raja Banten pertama (1552 -1570). Daerah kekuasannya diperluas hingga Lampung dan berhasil menguasai perdagangan lada. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal dan digantikan putranya yakni Panembahan Yusuf (1570-1580). Masa pemerintahannya berhasil menundukkan Kerajaan Pajajaran. Raja terbesar Banten adalah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan Banten. Politik Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC sangat keras. Sikap politik ini tidak disetujui putranya Sultan Haji (Abdulnasar Abdulkahar), sehingga terjadi perselisihan. Sultan Haji kemudian meminta bantuan VOC, sehingga Kerajaan Banten yang berhasil dikembangkan bidang ekonomi (perdagangan dan pelayaran) dan politik oleh Sultan Ageng Tirtayasa, pada akhirnya menjadi boneka kompeni.
b. Kehidupan Ekonomi
Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya ialah:
c. Kehidupan Sosial Budaya
Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam. Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda, pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.
5. Kerajaan Mataram
a. Kehidupan Politik
Sesudah Kerajaan Demak runtuh, Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggono) memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang. Joko Tingkir naik takhta dengan gelar Sultan Hadiwijaya, namun tidak lama (1568-1586). Hal ini disebabkan kota-kota pesisir terus memperkuat diri. Ketika Sultan meninggal (1586) dan digantikan putranya, Pangeran Benowo, kekacauan makin tidak terkendali. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada Sutowijoyo, dan sekali lagi pusat pemerintahan dipindahkan ke Mataram. Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1586-1601) dengan ibukota kerajaan di Kota Gede.
Tindakan-tindakan penting yang dilakukan adalah:
Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Dipati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan laut selama 2 bulan, namun tidak mau menyerah bahkan sebaliknya akhirnya tentara Mataram terpukul mundur. Dipersiapkan serangan yang kedua dan dipersiapkan lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal, Cirebon dan Krawang serta dipersiapkan angkatan laut. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah pimpinan Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun nampaknya VOC telah mengetahui lebih dahulu rencana tersebut, sehingga VOC membakar dan memusnahkan gudang-gudang perbekalan. Serangan ke Batavia mengalami kegagalan, karena kurangnya perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram–Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit. Setelah Sultan Agung meninggal, penetrasi politik VOC di Mataram makin kuat. Akibat campur tangan VOC dan adanya perang saudara dalam memperebutkan takhta pemerintahan menjadikan kerajaan Mataram lemah dan akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil.
Perseturuan antara Paku Buwono II yang dibantu Kompeni dengan Pangeran Mangkubumi dapat diakhiri dengan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang isinya Mataram dipecah menjadi dua, yakni:
Kerajaan Mataram yang makin jauh di daerah pedalaman, merupakan sebuah kerajaan agraris dengan hasil utamanya ialah beras. Pada masa Sultan Agung, kehidupan masyarakat Mataram mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini hasil bumi Mataram cukup melimpah.
c. Kehidupan Sosial-Budaya
Pada masa pertumbuhan dan berkaitan dengan masa pembangunan,maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerah-daerah persawahan dan memindahkan banyak para petani ke daerah Krawang yang subur. Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.
Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra dan sebagainya. Di samping itu muncul Kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan asli, Hindu, Buddha dengan Islam. Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada hari raya idul Fitri.; Grebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh Samsiah) dan sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh Kamariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan Tahun Jawa.
Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga Kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang Kitab Sastra Gending yang berupa kitab filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.
6. Kerajaan Makasar
a. Kehidupan Politik
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil, seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tello keduanya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makasar.
Adapun faktor-faktor yang membawa perkembangan Makasar ialah :
Perlawanan Hasanuddin berhasil dipatahkan, dan para pemimpin yang tidak mau tunduk kepada VOC seperti Kraeng Galesung dan Montemerano melarikan diri ke Jawa. Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 Nopember 1667.
Isinya sangat merugikan rakyat, yakni:
b. Kehidupan Ekonomi
Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito dan untuk mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti pulau Selayar, Buton demikian juga Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan perdagangan waktu musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan dapat dikuasainya.
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di Makasar. Dengan jenis perahu-perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang Makasar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; sebab di Makasar diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku. Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa.
c. Aspek Sosial Budaya
Mengingat Makasar sebagai kerajaan maritim dengan sumber kehidupan masyarakat pada aktivitas pelayaran perdagangan maka sebagian besar kebudayaannya dipengaruhi oleh keadaan tersebut. Hasil kebudayaan yang terkenal dari Makasar adalah perahu Pinisi dan Lambo. Selain itu juga berkembang kebudayaan lain seperti seni bangun, seni sastra, seni suara dan sebagainya.
7. Kerajaan Ternate dan Tidore
a. Kehidupan Politik
Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Irian terdapat dua kerajaan, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di kepulauan Maluku dan Irian. Kerajaan Ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya mencakup Pulau- Pulau Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore sebagai pemimpin Uli Siwa, artinya persekutuan Sembilan (persekutuan sembilan saudara) wilayahnya meliputi Pulau-Pulau Makyan, Jailolo, atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah itu sampai dengan Irian Barat. Antara keduanya saling terjadi persaingan dan persaingan makin tampak setelah datangnya bangsa Barat.
Bangsa Barat yang pertama kali datang di Maluku ialah Portugis (1512) yang kemudian bersekutu dengan Kerajaan Ternate. Jejak ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil mendarat di Maluku 1521 dan mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan telah berhadapan, namun belum terjadi pecah perang. Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol, maka pada tahun 1529 diadakan Perjanjian Saragosa yang isinya bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kekuasaannya di Filipina dan bangsa Portugis tetap tinggal Maluku.
Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku, maka Portugis mendirikan benteng Sao Paulo. Menurut Portugis, benteng ini dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore. Tindakan Portugis di Maluku makin merajalela yakni dengan cara memonopoli dalam perdagangan, terlalu ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Ternate, sehingga menimbulkan pertentangan. Salah seorang Sultan Ternate yang menentang ialah Sultan Hairun (1550-1570). Untuk menyelesaikan pertentangan, diadakan perundingan antara Ternate (Sultan Hairun) dengan Portugis (Gubernur Lopez de Mesquita) dan perdamaian dapat dicapai pada tanggal 27 Februari 1570. Namun perundingan persahabatan itu hanyalah tipuan belaka. Pada pagi harinya (28 Februari) Sultan Hairun mengadakan kunjungan ke benteng Sao Paulo, tetapi ia disambut dengan suatu pembunuhan.
Atas kematian Sultan Hairun, rakyat Maluku bangkit menentang bangsa Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putra dan pengganti Sultan Hairun). Setelah dikepung selama 5 tahun, benteng Sao Paulo berhasil diduduki (1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak dibunuh tetapi harus meninggalkan Ternate dan pindah ke Ambon. Sultan Baabullah dapat meluaskan daerah kekuasaannya di Maluku. Daerah kekuasaannya terbentang antara Sulawesi dan Irian; ke arah timur sampai Irian, barat sampai pulau Buton, utara sampai Mindanao Selatan (Filipina), dan selatan sampai dengan pulau Bima (Nusa Tenggara), sehingga ia mendapat julukan "Tuan dari tujuh pulau dua pulau". Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi persaingan antara Belanda dan Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan dapat mengusir Portugis dari Maluku (1605).
Belanda yang tanpa ada saingan kemudian juga melakukan tindakan yang sewenang-wenang, yakni:
b. Kehidupan Ekonomi Kehidupan rakyat Maluku yang utama adalah pertanian dan perdagangan. Tanah di kepulauan Maluku yang subur dan diliputi oleh hutan rimba, banyak memberikan hasil berupa cengkih dan pala. Cengkih dan pala merupakan rempah-rempah yang sangat diperlukan untuk ramuan obat-obatan dan bumbu masak, karena mengandung bahan pemanas. Oleh karena itu, rem-pah-rempah banyak diperlukan di daerah dingin seperti di Eropa. Dengan hasil rempahrempah maka aktivitas pertanian dan perdagangan rakyat Maluku maju dengan pesat.
Secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang sangat strategis dalam saluran perdagangan masa silam. Hal ini menyebabkan Islam dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia. Lantas, kapan Islam pertama kali datang ke Indonesia. Ada beberapa teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut antara lain teori Gujarat, teori Persia, dan teori Arab. Teori gujarat adalah teori masuknya Islam ke Indonesia yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel. Dalam teori ini disebutkan bahwa Islam di Indonesia sebetulnya berasal dari Gujarat, India dan mulai masuk sejak abad ke 8 Masehi. Islam masuk ke Indonesia melalui wilayah-wilayah di anak benua India, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Seperti diketahui bahwa Bangsa Indonesia pada masa itu memang telah menjalin hubungan dagang dengan India melalui saluran Indonesia-Cambay. Berdasarkan teori ini, masuknya Islam ke Indonesia ini diyakini berasal dari Gujarat karena didasarkan pada adanya bukti berupa batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik as-Saleh berangka tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Selain itu, teori gujarat juga didasarkan pada corak ajaran Islam yang cenderung memiliki warna tasawuf. Ajaran ini dipraktikan oleh orang muslim di India Selatan, mirip dengan ajaran Islam di Indonesia pada awal berkembangnya Islam.
Kedua adalah Teori persia. Teori persia adalah teori masuknya Islam ke Indonesia yang dikemukakan oleh Hoessein Djajadiningrat. Dalam teori ini dikemukakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang berasal dari Persia (Iran). Islam diyakini dibawa oleh para perdagang Persia mulai pada abad ke 12.
Ketiga adalah teori Arab atau Teori Mekah. Berdasarkan teori Arab, masuknya Islam ke Indonesia diyakini berasal dari Arab, yaitu Mekkah dan Madinah pada abad perama Hijriah atau abad ke 7 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada adanya bukti perkampungan Islam di Pantai Barus, Sumatera Barat, yang dikenal sebagai Bandar Khalifah. Wilayah ini disebut dengan wilayah Ta-Shih. Ta-Shih adalah sebutan orang-orang China untuk orang Arab. Bukti ini terdapat dalam dokumen dari Cina yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-Fei. Dia mengatakan adanya pelayaran dari wilayah Ta-Shih yang berjarak 5 hari perjalanan ke Jawa.
Masuknya agama islam ke nusantara (indonesia) pada abad 6 akhir dibawa oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau Fase Pertama, telah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada masyrakat,budaya dan pemerintahan. Perubahan dan Perkebangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak islam. antara lain sebagai berikut :
1. Kerajaan Samodera Pasai
a. Kehidupan Politik
Kerajaan Samodera Pasai dibangun Nazimudin Al Kamil, seorang laksamana laut dari Mesir. Raja pertama adalah Marah Silu dengan gelar Sultan Malik Al Saleh. Ia memerintah sejak tahun 1285 sampai dengan 1297 M. Pengganti Sultan Malik Al Saleh, yaitu Sultan Muhammad (Sultan Malik Al Thahir). Pada abad ke-14 (tahun 1345) Ibnu Battuta utusan dari Kesul-tanan Delhi yang akan pergi ke Cina dan singgah di Samodera Pasai, menyaksikan masyarakat dan kerajaan telah memeluk agama Islam. Raja terakhir Samodera Pasai ialah Zainal Abidin (1523-1524).
b. Kehidupan Sosial Ekonomi
Tumbuhnya Kerajaan Samodera Pasai, selain didukung letaknya yang strategis, juga adanya hasil pertanian yang menjadi komoditi ekspor, misalnya lada. Hal ini menjadikan Kerajaan Samodera Pasai maju dalam pelayaran dan perdagangan dan tumbuh menjadi kerajaan maritim. Samodera Pasai akhirnya berkembang menjadi pusat perdagangan dan agama Islam.
2. Kerajaan Aceh
a. Kehidupan Politik
Aceh berkembang setelah Malaka diduduki Portugis pada 1511. Mengingat sebagian besar para pedagang beragama Islam maka mereka pindah dari Malaka ke Aceh. Faktor lain adalah jatuhnya Samodera Pasai ke tangan Portugis (1521), sehingga menambah keramaian Aceh. Pada tahun 1530, Aceh melepaskan diri dari Pedir dan berdirilah Kerajaan Aceh dengan Sultan Ali Mughayat (1514-1528) sebagai raja pertama.
Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan bercita-cita menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar dan kuat. Untuk itu, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka harus ditaklukkan, yakni Pahang, Kedah, Perlak, Johor dan sebagainya. Pengganti Sultan Iskandar Muda ialah Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah itu Aceh terus mengalami kemunduran, karena tidak terdapat sultan yang kuat. Kerajaan Aceh tidak mampu bersaing dengan Belanda, yang mengusai Malaka pada tahun 1641.
b. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh adalah dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Pada masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hasil bumi dan alam menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh, sehingga perekonomian Aceh maju dengan pesat.
c. Kehidupan Sosial Budaya
Dalam masyarakat Aceh terdapat dua kelompok sosial yang saling berebut pengaruh yakni Golongan Teuku dan Golongan Tengku. Golongan Teuku adalah kaum bangsawan yang memegang kekuasaan sipil, sedangkan golongan Tengku adalah kaum ulama yang memegang peranan penting dalam bidang sosialkeagamaan. Sementara itu di dalam golongan agama terdapat dua aliran yang saling bersaing, yaitu Syiah dan Sunnah wal Jama'ah. Pada masa Sultan Iskandar Muda, aliran Syiah berkembang pesat. Tokoh aliran ini ialah Hamzah Fansuri, yang kemudian diteruskan oleh Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskansar Muda meninggal, aliran Sunnah wal Jama'ah yang berkembang pesat. Tokoh aliran ini adalah Nuruddin ar Raniri yang berhasil menulis sejarah Aceh dengan judul Bustanus Salatin, yang berisi adat istiadat Aceh dan ajaran agama Islam. Peninggalan budaya Islam yang cukup menonjol adalah bangunan Masjid Baitturachman yang dibangun pada masa pemerintahn Sultan Iskandar Muda.
3. Kerajaan Demak
Dengan mundurnya kerajaan Majapahit, memberikan kesempatan kepada para bupati yang berada di pesisir pantai utara Jawa untuk melepaskan diri, khususnya Demak. Faktor lain yang mendorong perkembangan Demak ialah letaknya yang strategis di jalur perdagangan Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur.
a. Kehidupan Politik
1) Raden Patah (1475-1518)
Dengan bantuan beberapa daerah yang telah memeluk Islam, misalnya Jepara, Tuban, dan Gresik, Raden Patah pada 1475 berhasil mendirikan Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) dengan putri Champa. Raden Patah semula diangkat menjadi Bupati oleh Kerajaan Majapahit di Bintoro Demak dengan gelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Dalam upaya mengembangkan kekuasaan dan menguasai perdagangan nasional dan internasional maka pada 1513 Demak melancarkan serangan ke Malaka di bawah pimpinan Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Namun serangan tersebut mengalami kegagalan. Dalam bidang politik, Demak menempatkan para wali di lingkungan kerajaan sebagai pendamping, dan sekaligus sebagai penasihat raja. Peran ini tampak pada diri Sunan Kalijaga yang saran-sarannya memberi corak seakan-akan Demak sebagai negara teokrasi atau negara atas dasar agama.
2) Sultan Trenggono (1521-1546)
Raden Patah digantikan putranya Adipati Unus (1518-1521). Ia dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor (sebab pernah mengadakan serangan ke utara atau Malaka), meninggal tanpa berputra, dan digantikan adiknya, yaitu Sekar Seda Lepen. Namun, pangeran ini dibunuh kemenakannya sendiri, sehingga yang menggantikan adiknya, yaitu Raden Trenggono, dengan gelar Sultan Trenggono.
Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan luas, mulai Jawa Barat (Banten, Jayakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dengan wafatnya Sultan Trenggono memberi peluang keturunan Sekar Seda Lepen untuk merebut takhta, karena merasa berhak atas takhta itu. Tokoh ini adalah Aria Penangsang yang menjadi Bupati di Jipang (Blora). Sementara itu dari pihak keluarga Sultan Trenggono menunjuk Pangeran Prawoto sebagai pengganti ayahandanya. Dengan demikian terjadi perebutan kekuasaan antara Sultan Trenggono dengan keturunan Sekar Seda Lepen. Perang saudara ini berlangsung lama, dan menantu Sultan Trenggono yang berasal dari Pajang, yaitu Joko Tingkir berhasil naik takhta sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya (1552-1575).
b. Kehidupan Ekonomi
Sebagai negara maritim, Demak menjalankan fungsinya sebagai penghubung atau transito antara daerah penghasil rempah-rempah di bagian timur dengan Malaka, dan dari Malaka kemudian dibawa para pedagang menuju kawasan Barat. Berkembangnya perekonomian Demak di samping faktor dunia kemaritiman, juga faktor perdagangan hasil-hasil pertanian.
c. Kehidupan Sosial-Budaya
Kehidupan sosial diatur oleh aturan-aturan atau hukum-hukum yang berlaku dalam ajaran Islam, namun juga masih menerima tradisi lama. Dengan demikian, muncul sistem kehidupan sosial yang telah mendapat pengaruh Islam. Di bidang budaya, terlihat jelas adanya peninggalan bangunan Masjid Demak yang terkenal dengan tiang utamanya terbuat dari tatal yang disebut Soko Tatal. Di pendapa (serambi depan masjid) itu Sunan Kalijaga (pemimpin pembangunan masjid) meletakkan dasar-dasar Syahadatain (Perayaan Sekaten). Tujuannya adalah untuk memperoleh banyak pengikut agama Islam, dan tradisi sekaten sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.
4. Kerajaan Banten
a. Kehidupan Politik
Banten dikuasai dan di-Islamkan oleh Fatahilah (panglima perang Demak). Selain itu, Fatahilah juga merebut Sunda Kelapa dan Cirebon. Setelah dikuasai, nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta (1527). Selanjutnya, Fatahilah menetap di Cirebon, dan Banten diserahkan kepada putranya, Hasanudin. Meskipun Banten, Jayakarta, dan Cirebon berhasil dikuasai, namun kawasan ini tetap menjadi daerah kekuasan Demak. Namun, ketika terjadi goncangan politik sebagai akibat perebutan kekuasaan di Demak, maka Banten melepaskan diri. Hasanudin sebagai peletak dasar selanjutnya menjadi raja Banten pertama (1552 -1570). Daerah kekuasannya diperluas hingga Lampung dan berhasil menguasai perdagangan lada. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal dan digantikan putranya yakni Panembahan Yusuf (1570-1580). Masa pemerintahannya berhasil menundukkan Kerajaan Pajajaran. Raja terbesar Banten adalah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan Banten. Politik Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC sangat keras. Sikap politik ini tidak disetujui putranya Sultan Haji (Abdulnasar Abdulkahar), sehingga terjadi perselisihan. Sultan Haji kemudian meminta bantuan VOC, sehingga Kerajaan Banten yang berhasil dikembangkan bidang ekonomi (perdagangan dan pelayaran) dan politik oleh Sultan Ageng Tirtayasa, pada akhirnya menjadi boneka kompeni.
b. Kehidupan Ekonomi
Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya ialah:
- letaknya strategis dalam lalu lintas perdagangan;
- jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, sehingga para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka namun langsung menuju Banten;
- Banten mempunyai bahan ekspor penting yakni lada. Banten yang menjadi maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina dan sebagainya.
c. Kehidupan Sosial Budaya
Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam. Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda, pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.
5. Kerajaan Mataram
a. Kehidupan Politik
Sesudah Kerajaan Demak runtuh, Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggono) memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang. Joko Tingkir naik takhta dengan gelar Sultan Hadiwijaya, namun tidak lama (1568-1586). Hal ini disebabkan kota-kota pesisir terus memperkuat diri. Ketika Sultan meninggal (1586) dan digantikan putranya, Pangeran Benowo, kekacauan makin tidak terkendali. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada Sutowijoyo, dan sekali lagi pusat pemerintahan dipindahkan ke Mataram. Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1586-1601) dengan ibukota kerajaan di Kota Gede.
Tindakan-tindakan penting yang dilakukan adalah:
- meletakkan dasar-dasar Kerajaan Mataram,
- berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke timur, Surabaya, Madiun dan Ponorogo, dan ke barat menundukkan Cirebon dan Galuh.
Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Dipati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan laut selama 2 bulan, namun tidak mau menyerah bahkan sebaliknya akhirnya tentara Mataram terpukul mundur. Dipersiapkan serangan yang kedua dan dipersiapkan lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal, Cirebon dan Krawang serta dipersiapkan angkatan laut. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah pimpinan Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun nampaknya VOC telah mengetahui lebih dahulu rencana tersebut, sehingga VOC membakar dan memusnahkan gudang-gudang perbekalan. Serangan ke Batavia mengalami kegagalan, karena kurangnya perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram–Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit. Setelah Sultan Agung meninggal, penetrasi politik VOC di Mataram makin kuat. Akibat campur tangan VOC dan adanya perang saudara dalam memperebutkan takhta pemerintahan menjadikan kerajaan Mataram lemah dan akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil.
Perseturuan antara Paku Buwono II yang dibantu Kompeni dengan Pangeran Mangkubumi dapat diakhiri dengan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang isinya Mataram dipecah menjadi dua, yakni:
- Mataram Barat yakni KesultananYogakarta, diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
- Mataram Timur yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.
- Surakarta Utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya dinamakan Mangkunegaran.
- Surakarta Selatan diberikan kepada Paku Buwono III kerajaannya dinamakan Kasunanan Surakarta.
- Kerajaan Yogyakarta
- Kasunanan Surakarta
- Pakualaman
- Mangkunegaran
Kerajaan Mataram yang makin jauh di daerah pedalaman, merupakan sebuah kerajaan agraris dengan hasil utamanya ialah beras. Pada masa Sultan Agung, kehidupan masyarakat Mataram mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini hasil bumi Mataram cukup melimpah.
c. Kehidupan Sosial-Budaya
Pada masa pertumbuhan dan berkaitan dengan masa pembangunan,maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerah-daerah persawahan dan memindahkan banyak para petani ke daerah Krawang yang subur. Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.
Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra dan sebagainya. Di samping itu muncul Kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan asli, Hindu, Buddha dengan Islam. Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada hari raya idul Fitri.; Grebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh Samsiah) dan sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh Kamariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan Tahun Jawa.
Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga Kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang Kitab Sastra Gending yang berupa kitab filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.
6. Kerajaan Makasar
a. Kehidupan Politik
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil, seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tello keduanya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makasar.
Adapun faktor-faktor yang membawa perkembangan Makasar ialah :
- Terletak di tepi sungai
- Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan Malaka-Maluku.
- Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis 1511.
- Beralihnya sistem pemerintahan di Jawa Tengah ke corak agraris.
Perlawanan Hasanuddin berhasil dipatahkan, dan para pemimpin yang tidak mau tunduk kepada VOC seperti Kraeng Galesung dan Montemerano melarikan diri ke Jawa. Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 Nopember 1667.
Isinya sangat merugikan rakyat, yakni:
- Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
- Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa seizin VOC.
- Makasar tertutup untuk semua bangsa kecuali VOC dengan hak monopolinya
- Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu yakni benteng Ujung Pandang yang kemudian namanya diganti menjadi Benteng Rotterdam.
- Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250 ribu ringgit.
b. Kehidupan Ekonomi
Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito dan untuk mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti pulau Selayar, Buton demikian juga Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan perdagangan waktu musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan dapat dikuasainya.
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di Makasar. Dengan jenis perahu-perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang Makasar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; sebab di Makasar diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku. Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa.
c. Aspek Sosial Budaya
Mengingat Makasar sebagai kerajaan maritim dengan sumber kehidupan masyarakat pada aktivitas pelayaran perdagangan maka sebagian besar kebudayaannya dipengaruhi oleh keadaan tersebut. Hasil kebudayaan yang terkenal dari Makasar adalah perahu Pinisi dan Lambo. Selain itu juga berkembang kebudayaan lain seperti seni bangun, seni sastra, seni suara dan sebagainya.
7. Kerajaan Ternate dan Tidore
a. Kehidupan Politik
Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Irian terdapat dua kerajaan, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di kepulauan Maluku dan Irian. Kerajaan Ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya mencakup Pulau- Pulau Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore sebagai pemimpin Uli Siwa, artinya persekutuan Sembilan (persekutuan sembilan saudara) wilayahnya meliputi Pulau-Pulau Makyan, Jailolo, atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah itu sampai dengan Irian Barat. Antara keduanya saling terjadi persaingan dan persaingan makin tampak setelah datangnya bangsa Barat.
Bangsa Barat yang pertama kali datang di Maluku ialah Portugis (1512) yang kemudian bersekutu dengan Kerajaan Ternate. Jejak ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil mendarat di Maluku 1521 dan mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan telah berhadapan, namun belum terjadi pecah perang. Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol, maka pada tahun 1529 diadakan Perjanjian Saragosa yang isinya bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kekuasaannya di Filipina dan bangsa Portugis tetap tinggal Maluku.
Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku, maka Portugis mendirikan benteng Sao Paulo. Menurut Portugis, benteng ini dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore. Tindakan Portugis di Maluku makin merajalela yakni dengan cara memonopoli dalam perdagangan, terlalu ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Ternate, sehingga menimbulkan pertentangan. Salah seorang Sultan Ternate yang menentang ialah Sultan Hairun (1550-1570). Untuk menyelesaikan pertentangan, diadakan perundingan antara Ternate (Sultan Hairun) dengan Portugis (Gubernur Lopez de Mesquita) dan perdamaian dapat dicapai pada tanggal 27 Februari 1570. Namun perundingan persahabatan itu hanyalah tipuan belaka. Pada pagi harinya (28 Februari) Sultan Hairun mengadakan kunjungan ke benteng Sao Paulo, tetapi ia disambut dengan suatu pembunuhan.
Atas kematian Sultan Hairun, rakyat Maluku bangkit menentang bangsa Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putra dan pengganti Sultan Hairun). Setelah dikepung selama 5 tahun, benteng Sao Paulo berhasil diduduki (1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak dibunuh tetapi harus meninggalkan Ternate dan pindah ke Ambon. Sultan Baabullah dapat meluaskan daerah kekuasaannya di Maluku. Daerah kekuasaannya terbentang antara Sulawesi dan Irian; ke arah timur sampai Irian, barat sampai pulau Buton, utara sampai Mindanao Selatan (Filipina), dan selatan sampai dengan pulau Bima (Nusa Tenggara), sehingga ia mendapat julukan "Tuan dari tujuh pulau dua pulau". Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi persaingan antara Belanda dan Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan dapat mengusir Portugis dari Maluku (1605).
Belanda yang tanpa ada saingan kemudian juga melakukan tindakan yang sewenang-wenang, yakni:
- Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempahrempah) kepada VOC (contingenten).
- Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga rempah-rempah di pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara serentak apabila harga rempah-rempah di pasaran naik/ meningkat.
- Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yang diciptakan oleh Frederick de Houtman (Gubernur pertama Ambon) yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh VOC dengan tujuan untuk mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan di seluruh Maluku.
Tindakan-tindakan penindasan tersebut di atas jelas membuat rakyat hidup tertekan dan menderita, sebagai reaksinya rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata melawan VOC. Pada tahun 1635-1646 rakyat di kepulauan Hitu bangkit melawan VOC dibawah pimpinan Kakiali dan Telukabesi. Pada tahun 1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi. Demikian juga di daerah lain, seperti Seram, Haruku dan Saparua; namun semua perlawanan berhasil dipadamkan oleh VOC. Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar; akan tetapi pada akhir abad ke-18 muncul lagi perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Jika melawan Portugis, Ternate memegang peranan penting, maka untuk melawan VOC, Tidore yang memimpinnya. Pada tahun 1780 rakyat Tidore bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Nuku. Selanjutnya Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore. Setelah Sultan Nuku meninggal (1805), tidak ada lagi perlawaan yang kuat menentang VOC, maka mulailah VOC memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku. Perlawanan yang lebih dahsyat di Maluku baru muncul pada permulaan abad ke-19 di bawah pimpinan Pattimura.
b. Kehidupan Ekonomi
c. Kehidupan Sosial Budaya
Kedatangan Portugis di Maluku yang semula untuk berdagang dan mendapatkan rempah-rempah, juga menyebarkan agama Katolik. Pada tahun 1534 missionaris Katolik, Fransiscus Xaverius telah berhasil menyebarkan agama Katolik di Halmahera, Ternate, dan Ambon. Telah kita ketahui bahwa sebelumnya di Maluku telah berkembang agama Islam. Dengan demikian kehidupan agama telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat Maluku. Dalam kehidupan budaya, rakyat Maluku diliputi aktivitas perekonomian, maka tidak banyak menghasilkan budaya. Salah satu karya seni bangun yang terkenal ialah Istana Sultan Ternate dan Masjid kuno di Ternate.