Penjajahan Belanda di Indonesia

Penjajahan di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis dan Spanyol. Mereka semula datang untuk berdagang, terutama rempah-rempah. Melihat keberhasilan Portugis dan Spanyol, Belanda dan Inggris menyusul datang ke Indonesia. Setelah sampai di Indonesia, mereka bersaing untuk memperoleh rempah-rempah sebanyak-banyaknya. Hal ini terutama dilakukan bangsa Belanda dengan menerapkan sistem monopoli.

1. Sebab Jatuhnya Daerah-Daerah Nusantara ke dalam Kekuasaan Pemerintahan Belanda
Belanda datang ke Indonesia pada 1596. Kapal mereka mendarat di Banten. Mereka datang di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Keberhasilan rombongan Belanda pertama disusul oleh rombongan berikutnya. Akhirnya, orang Belanda berlomba-lomba memasuki Indonesia.

Tujuan Belanda datang ke Indonesia untuk menguasai perdagangan rempahrempah. Untuk memperkuat kedudukannya, pada 1602 Belanda mendirikan kongsi dagang yang disebut VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Batavia. Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both. Kemudian diganti Jan Pieterszoon Coen. Di bawah kepemimpinan JP Coen, VOC mengalami kemajuan pesat. Batavia kemudian dijadikan pusat pemerintahan dan kegiatan VOC.
Setelah perdagangannya maju, VOC mulai melakukan penjajahan. Mereka memecah belah kekuatan rakyat dengan mengadu domba. Siasat ini disebut ”devide et impera”. Tindakan sewenang-wenang VOC ini membuat marah bangsa Indonesia.  erlawanan terhadap Belanda pun di mulai. Contohnya perlawanan dari rakyat Kerajaan Mataram dan Banten.

Perlawanan ini semakin meningkat setelah VOC berusaha memaksakan monopolinya di daerah pesisir utara Jawa. Pada 1628 dan 1629, Mataram menyerang VOC secara besar-besaran di Batavia. Sultan Agung mengirimkan ribuan prajurit untuk menggempur Batavia. Perlawanan ini dilakukan dari darat dan laut. Namun, kedua penyerangan itu belum berhasil merebut Batavia.

Sultan Ageng Tirtayasa pun mengadakan perlawanan untuk mengusir VOC dari Banten. Akan tetapi, perlawanan tersebut ditentang oleh putranya sendiri, yaitu Sultan Haji. Pertentangan ini dimanfaatkan VOC untuk menjalankan politik adu domba. Belanda membantu Sultan Haji untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam pertempuran tersebut Sultan Ageng Tirtayasa berhasil dikalahkan. Ia ditangkap pada 1683.

Perlawanan terhadap VOC juga terjadi di daerah lain. Contohnya, perlawanan Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, dan perlawanan Untung Surapati Pasuruan Jawa Timur. Akan tetapi, semua perlawanan itu dapat dikalahkan. Hal ini disebabkan perlawanan itu hanya bersifat kedaerahan.

2. Sistem Kerja Paksa dan Penarikan Pajak yang Memberatkan Rakyat
Menjelang abad ke-18, keadaan keuangan VOC semakin memburuk. Akhirnya mereka mengalami kebangkrutan. Pada 31 Desember 1799 pemerintah Belanda memutuskan untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Pada 1806, Napoleon Bonaparte (Kaisar Perancis) berhasil menaklukkan Belanda. Napoleon kemudian mengubah bentuk negara Belanda dari republik menjadi kerajaan. Napoleon mengutus Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal ke Indonesia. Tujuannya untuk mengadakan persiapan-persiapan menghadapi serangan Inggris.

a. Kerja Paksa (Rodi)
Pada saat VOC dibubarkan, Belanda sedang bermusuhan dengan Inggris. Untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di Pulau Jawa, Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan pembuatan jalan raya. Jalan raya ini dibuat dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur). Daendels memaksa rakyat mengerjakan pembuatan jalan tersebut tanpa upah. Ratusan ribu orang dipaksa bekerja agar pembuatan jalan cepat selesai. Selain itu, dibangun juga benteng-benteng pertahanan dan pangkalan laut. Banyak rakyat Indonesia yang meninggal karena kelaparan, sakit, kecelakaan, dan disiksa.

Kekejaman Gubernur Jenderal Daendels terhadap rakyat Indonesia diketahui oleh Napoleon. Pada 1811, Daendels dipanggil ke Belanda. Ia digantikan oleh Gubernur Jendral Jansens. Akan tetapi, Jansens kurang cakap dalam melaksanakan tugasnya. Pada 1811 Inggris berhasil mengalahkan Belanda di daerah Tuntang dekat Salatiga, Jawa Tengah. Sejak itulah kedudukan Belanda di Indonesia digantikan oleh Inggris.

Pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Ia bertugas sejak 1811 sampai dengan 1816. Dalam melaksanakan tugasnya Raffles, ia melakukan politik adu domba antarsesama raja di Pulau Jawa. Ia pun melakukan kerja paksa penanaman kopi di daerah Priangan untuk keperluan pemerintah Inggris. Tanah-tanah dikuasai pemerintah sehingga rakyat yang menggunanakan tanah harus membayar pajak.

b. Tanam Paksa
Belanda datang lagi ke Indonesia dengan menunjuk Van der Capellen sebagai gubernur jenderal. Pada 1830, Van der Capellen digantikan oleh Van den Bosch. Ia diberi tugas untuk mengisi keuangan Belanda yang kosong. Untuk memenuhi tugasnya Van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa atau Cultuur Stelsel. Tujuannya untuk mengambil pajak atas tanah dengan cara menyetor hasil bumi.

Dalam melaksanakan tugasnya Belanda membuat peraturan-peraturan pokok tanam paksa sebagai berikut.
  1. Rakyat harus menanami 1/5 dari tanah yang dimilikinya dengan tanaman ekspor seperti kopi, tebu, teh, dan tembakau.
  2. Hasil tanaman harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
  3. Tanah yang ditanami tanaman ekspor tersebut bebas dari pajak tanah.
  4. Kaum petani tidak boleh disuruh bekerja lebih keras daripada bekerja untuk tanaman padinya.
  5. Rakyat yang tidak memiliki tanah dikenakan kerja rodi selama 65 hari setiap tahun di tanah milik pemerintah.
  6. Kerusakan tanaman menjadi tanggungan pemerintah, apabila kerusakan itu bukan karena kesalahan rakyat.
Dengan adanya peraturan tersebut sistem tanam paksa sangat merugikan penduduk Indonesia. Pihak Belanda bertindak sewenang-wenang dalam mengeruk hasil bumi. Bahkan dalam pelaksanaannya lebih berat dari peraturan yang telah dibuat. Rakyat harus menanami 1/4, 1/3, atau setengah dari tanah yang dimilik untuk ditanami tanaman tertentu. Hasilnya harus disetorkan kepada Belanda. Selain itu, tanah-tanah tersebut tetap dikenakan pajak.Akibatnya, rakyat Indonesia kekurangan pangan dan banyak yang mati kelaparan.

Sebaliknya, tanam paksa ini menguntungkan Belanda. Hasil tanam paksa diangkut seluruhnya ke Belanda. Kas negara Belanda yang tadinya kosong, kini terisi kembali. Bahkan, uang tersebut digunakan untuk membangun negeri Belanda.

3. Perjuangan Tokoh Daerah untuk Mengusir Penjajah Belanda
Tindakan Belanda yang sewenang-wenang terhadap rakyat menimbulkan perlawanan di berbagai daerah. Beberapa tokoh yang terkenal keberaniannya sebagai berikut.

a. Pattimura
Maluku merupakan kepulauan yang banyak menghasilkan rempah-rempah. Oleh karena itu, Belanda sudah lama ingin menguasai daerah tersebut. Tindakan Belanda di Maluku sangat sewenang-wenang. Mereka sering bertindak kasar dan melakukan pemaksaan dalam penjualan. Belanda juga mengatur harga dengan kemauannya sendiri. Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku, Belanda mendirikan benteng Duurstede.

Pada 1817 Pattimura bersama dengan rakyat menyerang Benteng Duurstede. Pertempuran akhirnya meluas ke berbagai daerah. Dalam pertempuran itu rakyat Maluku berhasil menewaskan Mayor Beeces. Ia adalah pimpinan pasukan Belanda.

b. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra Hamengku Buwono III. Pada saat tinggal di Tegalrejo, beliau menyaksikan penderitaan rakyat. Belanda bertindak kejam kepada rakyat. Pangeran Diponegoro membenci segala tindakan yang dilakukan Belanda tersebut. Timbullah perlawanan yang dikenal sebagai perang Diponegoro.

Hal lain yang menjadi pemicu perang Diponegoro adalah patok dalam membuat jalan menuju Magelang. Patok itu melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro yang dilakukan tanpa perundingan dahulu. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro melarang pemasangan patok dan mempertahankan haknya. Residen Smissaert mengetahui hal itu. Ia menganggap hal itu sebagai tindakan pembangkangan.

Pada 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya melawan Belanda. Mereka berjuang dengan taktik perang gerilya. Markas Diponegoro berpindah-pindah, yaitu di Selarong, Pleret, Dekso, dan Pengasih. Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro pada mulanya dapat menguasai sebagian besar Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Untuk mengalahkan Pangeran Diponegoro, Belanda menggunakan tipu muslihat. Pada 1827 Belanda menugaskan Jenderal Marcus de Kock untuk menumpas pasukan Diponegoro. Pangeran Diponegoro diundang untuk berunding di Magelang. Dalam perundingan itu, ia tiba-tiba ditangkap dan diasingkan ke Manado. Kemudian dipindahkan ke Makassar sampai wafat pada 8 Januari 1855.
c. Imam Bonjol
Perlawanan terhadap Belanda juga berlangsung di Sumatera Barat. Perlawanan ini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Kehadiran Belanda di Sumatera Barat untuk menguasai daerah penghasil kopi. Untuk menguasai Sumatra Barat, Belanda memanfaatkan perselisihan antara Kaum Padri (pembaharu agama Islam) dan Kaum Adat.

Pada 1821, Belanda dengan bantuan Kaum Adat memerangi Kaum Paderi. Tuanku Imam Bonjol memimpin pasukan Paderi untuk menghadapi Belanda. Dalam peperangan ini Belanda dapat dikalahkan. Belada terpaksa mengadakan perjanjian Masang pada 1824. Akan tetapi, perjanjian ini kemudian dilanggar oleh Belanda. Perang pun terjadi lagi.

Setelah perang Diponegoro berakhir, Belanda membawa pasukan yang besar ke Sumatra Barat. Wilayah-wilayah di Sumatra Barat mulai dapat dikuasai. Pada 1837, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letkol Michels menyerbu Bonjol. Dalam peperangan ini Kaum Padri dapat dikalahkan. Namun Tuanku Imam Bonjol berhasil memoloskan diri. Pada Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Ia kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Ia dipindahkan lagi ke Ambon dan akhirnya ke Lotan dekat Manado. Ia meninggal pada 8 November 1864 dan dimakamkan di sana.

d. Pangeran Antasari
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan terdapat kerajaan yang besar. Daerah ini banyak menghasilkan rempah-rempah dan intan. Belanda dengan ingin menguasai daerah itu dengan jalan mengadu domba kerabat keraton.

Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah. Padahal ia tidak disenangi rakyat. Tindakan Belanda di Kesultanan Banjar semakin semena-mena. Pangeran Tamjidillah pun mendapat perlawanan dari Pangeran Hidayat dengan dukungan rakyat. Namun, ia mengalami kegagalan dan ditangkap lalu dibuang ke Cianjur.

Kemudian muncullah Pangeran Antasari yang menolak campur tangan Belanda. Pangeran Antasari memimpin rakyat Banjar melawan Belanda sejak 1859 – 1862. Ia diangkat oleh rakyat Banjar menjadi sultan. Pasukan Antasari berhasil meledakkan kapal Belanda beserta pasukannya. Perlawanan Antasari terhenti karena sakit. Akhirnya ia meninggal pada 1862.

e. Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII menjadi raja sejak umur 18 tahun. Waktu kecilnya bernama Patuan Bosar Ompu Pulo Batu. Ia lahir di Bakkara, Tapanuli 1849. Belanda datang ke Tapanuli secara terang-terang untuk mengusai tanah Batak. Oleh karena itu, Sisingamangaraja XII mengangkat senjata untuk menumpas Belanda.

Pada 1878, pasukan Sisingamangaraja melakukan perlawanan. Mereka menyerang pos-pos pertahanan Belanda. Penyerangan ini dilakukan secara bergerilya. Serangan ini berhasil mengalahkan Belanda. Untuk mengatasi keadaan, Belanda menambah kekuatannya. Kemudian Belanda melakukan penyerangan. Daerah pertempuran Sisingamangaraja semakin sempit dan pasukannya semakin berkurang. Sisingamangaraja XII dipaksa menyerah di tempat persembunyiannya. Akan tetapi, ia menolak. Ia gugur tertembak pada 17 Juni 1907. Ia dimakamkan di Pulau Samosir, Sumatra Utara.

f. Raja Buleleng dan Gusti Ketut Jelantik
Di Bali berlaku hukum adat Tawan Karang. Hukum adat ini menyatakan bahwa setiap kapal asing yang terdampar di perairan Bali akan menjadi milik raja Bali. Hukum ini diterapkan oleh kerajaankerajaan di Bali seperti, Buleleng, Klungkung, Gianyar, Karangasem, Jembrana, Badung, dan Pemecutan.

Pada 1846, Belanda mendarat di sebelah utara Bali. Daerah ini merupakan daerah kerajaan Buleleng. Belanda memerintahkan Raja Buleleng untuk segera mengakui kekuasaan Belanda. Hukum Tawan Karang dihapuskan. Raja Buleleng pun harus memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda.

Karena ultimatum ditolak raja, terjadilah pertempuran antara Belanda dan rakyat Bali. Raja Buleleng dibantu oleh Patih Gusti Ketut Jelantik. Akan tetapi, pasukan yang dipimpin oleh Gusti Ketut Jelantik akhirnya terdesak dan mundur ke luar Benteng Jagaraga. Benteng tersebut dapat dikuasai oleh Belanda sehingga Raja Buleleng menyingkir.
Tokoh Pahlawan

Mohammad Toha adalah salah seorang pahlawan dari Jawa Barat. Ia tercatat sebagai pahlawan yang gagah berani. Moh. Toha adalah anggota Laskar BPRI. Pada 11 Juli 1946, pukul dua belas malam, ia bersama Mohammad Ramdhan berhasil menyusup ke markas Belanda di Dayeuhkolot, Bandung. Markas tersebut merupakan depot logistik dan gudang persenjataan. Dengan gagah berani, Moh. Toha dan Moh. Ramdhan berhasil meledakkan markas tersebut walaupun jiwanya sendiri ikut menjadi korban. Untuk menghormati jasa-jasanya, nama mereka diabadikan sebagai nama jalan di sekitar lokasi kejadian.
LihatTutupKomentar